Gembar-Gembor Gibran Doyan Bahas AI, Layak Masuk Kurikulum?

- Gibran aktif mengkampanyekan pentingnya kecerdasan buatan (AI) di Indonesia untuk mempercepat transformasi digital dan kemajuan bangsa
- AI akan masuk kurikulum pelajaran bagi pelajar di tingkat SD, SMP, SMA, dan SMK
- Blok Politik Pelajar mengkritik keras rencana AI masuk kurikulum pendidikan karena dianggap elitis dan terlalu dini
Jakarta, IDN Times - Wakil Presiden (Wapres) RI Gibran Rakabuming Raka belakangan jadi sorotan publik, lantaran gemar menggembar-gemborkan kecerdasan buatan alias Artificial Intelligence (AI).
Di awal 2025, tepatnya pada Februari, Gibran secara khusus menggelar audiensi dengan komunitas anak muda pencinta AI bernama AICO. Komunikasi tersebut digelar secara langsung di Kantor Wapres, Jalan Merdeka Utara, Jakarta Pusat.
Dalam pertemuan itu, Gibran menyampaikan pandangan mengenai AI di Indonesia. Menurutnya, inovasi berbasis AI merupakan salah satu pendorong utama kemajuan bangsa yang sejalan dengan visi Presiden Prabowo Subianto dalam mempercepat transformasi digital. AI bukan hanya tentang teknologi canggih, tetapi juga bagaimana dapat menjadi alat untuk mempermudah akses bagi masyarakat, alat pencari referensi mendalam tentang berbagai disiplin ilmu, hingga membantu penyelesaian masalah nyata di masyarakat.
Putra sulung Presiden Ketujuh RI Joko Widodo itu, juga mengapresiasi semangat anak muda dalam mengembangkan kecerdasan buatan, terutama di sektor-sektor strategis seperti pendidikan, kesehatan, pertanian, dan industri kreatif. Ia memandang, talenta digital Indonesia memiliki potensi besar untuk bersaing di tingkat global.
1. Gibran ungkap AI akan masuk kurikulum pendidikan SD, SMP, SMA

Sementara dalam kesempatan berbeda, Gibran Rakabuming Raka menyebut, AI akan masuk kurikulum pelajaran bagi pelajar di tingkat SD, SMP, SMA, dan SMK.
Hal tersebut disampaikan Gibran dalam sambutan di acara Studium Generale bertajuk Creative Job Opportunity with AI yang diselenggarakan di Auditorium Kampus Anggrek, BINUS University, Jakarta Barat, pada Jumat (2/5/2025). Acara ini merupakan kolaborasi antara BINUS University dan Komunitas AI AICO.
Ia mengatakan, mata pelajaran tentang AI mulai diterapkan pada kurikulum tahun ajaran baru. Terlebih, dalam rapat terbatas yang dipimpin Presiden RI Prabowo Subianto di Istana, pemerintah telah memutuskan untuk segera memasukkan pembelajaran AI ke dalam kurikulum pendidikan nasional.
"Nanti di tahun ajaran baru kita mulai memasukkan kurikulum AI (atau) pelajaran AI di tingkat SD, SMP, SMA, dan SMK," ucap Gibran.
Menurut Gibran, pentingnya pembelajaran AI sejak dini disebabkan oleh peran teknologi ini yang akan menjadi kunci di berbagai aspek kehidupan masa depan. Oleh karena itu, generasi muda diharapkan tidak hanya mampu memanfaatkan AI, tetapi juga menciptakan solusi inovatif yang berdampak bagi kemajuan bangsa dan dunia.
Sebagai contoh penerapan AI, Gibran menyebut penggunaan teknologi ini dimanfaatkan PT Jasa Marga dalam memantau lalu lintas di ruas tol selama libur Lebaran, serta penerapan AI Face Recognition oleh PT KAI.
"Jasa Marga sudah pakai AI (di sana) stafnya anak-anak muda semua. Mereka bisa melihat trafik di sepanjang ruas-ruas tol, jadi bisa tahu kapan harus dibikin one way atau contraflow. Di KAI ada kamera canggih pakai AI face recognition. Jadi, kalau ada pencuri (bisa) ketahuan," jelasnya.
Gibran lantas berpesan kepada generasi muda untuk menguasai teknologi digital dan ekonomi masa kini, agar dapat menjadi pionir dalam inovasi serta siap menghadapi tantangan ekonomi industri masa depan.
Pernyataan serupa juga disampaikan Gibran saat mengucapkan selamat Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) pada Jumat (2/5/2025). Dalam postingan video berdurasi singkat di akun media sosial Instagram resmi miliknya, Gibran menyebut mulai tahun ajaran baru pemerintah akan mendorong teknologi masuk ke dalam kurikulum pendidikan nasional. Mulai dari tingkat SD, SMP, hingga SMA dan SMK.
"Tahun ini, pemerintah mendorong kurikulum teknologi seperti coding dan Al masuk ke 16.000 sekolah, dari SD, SMP, SMA hingga SMK. Selain itu, sesuai dengan arahan Presiden Prabowo, 200 Sekolah Rakyat akan dibangun untuk menjangkau wilayah yang belum tersentuh pendidikan layak," ucap Gibran.
Gibran menilai, ada dua langkah strategis dalam pembangunan bangsa. Pertama, terkait akses pendidikan yang merata. Kedua, mempersiapkan generasi muda menghadapi era digital dan teknologi.
"Dua langkah strategis dalam pembangunan bangsa, memastikan akses pendidikan yang merata dan mempersiapkan generasi muda menghadapi masa depan di era digital dan teknologi," tutur dia.
Adapun, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu’ti mengatakan, kurikulum coding dan AI mulai diterapkan pada semester depan 2025/2026. Namun, kemungkinan besar mata pelajaran ini bersifat pilihan, bukan wajib. Naskah akademik dan capaian pembelajaran terkait kurikulum itu disebut sudah selesai. Pemerintah saat ini sedang menggodok penerbitan peraturan menteri.
Mu’ti memastikan, pemerintah membuka peluang kerja sama dengan berbagai pihak untuk menerapkan kurikulum baru ini.
"Kami sudah ada kerja sama dengan beberapa pihak untuk bagaimana agar pembelajaran coding ini dapat terlaksana," ucap dia di Jakarta, Rabu (7/5/2025).
2. Ikatan Pelajar Muhammadiyah apresiasi dan dukung wacana AI masuk kurikulum

Menanggapi hal itu, Ketua Umum Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Muhammadiyah (PP IPM), Riandy Prawita, mengaku mendukung rencana materi tentang AI masuk ke dalam kurikulum pendidikan di Indonesia.
Ia mengapresiasi inisiatif dan komitmen Gibran mendorong AI masuk kurikulum di tingkat SD, SMP, SMA, dan SMK.
PP IPM meyakini, pembelajaran AI sejak dini menjadi bekal penting bagi generasi pelajar untuk tidak hanya menjadi pengguna teknologi, tetapi juga menciptakan solusi inovatif yang berdampak luas.
"Kami, Ikatan Pelajar Muhammadiyah, menyatakan setuju dan mendukung penuh langkah ini sebagai bentuk respons konkret terhadap tantangan zaman dan revolusi teknologi yang kian pesat. Pembelajaran AI sejak dini akan menjadi bekal penting bagi generasi pelajar untuk tidak hanya menjadi pengguna teknologi, tetapi juga pencipta solusi inovatif yang berdampak luas," kata Riandy saat dihubungi IDN Times, Selasa (6/5/2025).
Meski begitu, PP IPM juga menyoroti pentingnya memastikan kesiapan infrastruktur dan sumber daya manusia (SDM) di seluruh wilayah Indonesia, agar kebijakan ini tidak memperlebar kesenjangan pendidikan. Selain itu, pembelajaran AI juga perlu disertai dengan penanaman nilai-nilai etika dan tanggung jawab sosial agar tidak hanya menghasilkan generasi yang cerdas secara teknologi, tetapi juga berkarakter kuat.
"Kami berharap proses pengembangan kurikulum ini turut melibatkan pelajar dan guru sebagai pelaku utama pendidikan, sehingga dapat benar-benar menjawab kebutuhan nyata di lapangan," ungkap Riandy.
Riandy memastikan, IPM siap berkolaborasi dengan pemerintah terkait penerapan AI masuk kurikulum pendidikan.
"Sebagai organisasi pelajar yang konsisten dalam mendorong literasi digital dan pendidikan berkemajuan, Ikatan Pelajar Muhammadiyah siap untuk berkolaborasi dengan pemerintah dan berbagai pihak dalam mewujudkan kurikulum AI yang adaptif, inklusif, dan berlandaskan nilai-nilai kemanusiaan," tutur dia.
3. Blok Politik Pelajar sentil Gibran jadikan AI jadi solusi pendidikan hingga sebut pencitraan

Berbeda pandangan dari IPM, Blok Politik Pelajar mengkritik keras sikap Gibran yang belakangan ini doyan mengampanyekan AI. Juru Bicara Blok Politik Pelajar, Bilal Mumtazkilah menegaskan, pihaknya menolak keras rencana materi tentang AI masuk ke dalam kurikulum pendidikan di Indonesia.
Menurutnya, upaya yang dilakukan Gibran tak lebih dari gimmick politik belaka. Kebijakan itu dianggap terlalu dini, tidak partisipatif, dan pencitraan.
"Saya sebagai juru bicara Blok Politik Pelajar, menolak keras gimmick politik Wakil Presiden Gibran yang kembali menjual kecerdasan buatan (AI) sebagai solusi ajaib untuk krisis pendidikan. Pernyataan Gibran yang mengumumkan AI akan masuk kurikulum mulai tahun ajaran baru adalah bentuk ketergesaan yang dangkal, tidak partisipatif, dan penuh aroma pencitraan," kata Bilal kepada IDN Times, Kamis (8/5/2025).
Bilal pun menyoroti infrastruktur pendidikan di Indonesia yang belum siap. Masih banyak akses internet yang belum merata, ruang kelas yang buruk, hingga guru honorer yang nasibnya belum sejahtera.
"Sementara jutaan pelajar masih berjibaku dengan akses internet buruk, ruang kelas rusak, dan guru honorer yang diperas tenaganya, pemerintah malah sibuk main-main dengan jargon futuristik. Bicara AI tanpa menyelesaikan akar ketimpangan adalah bentuk ketulian terhadap realitas mayoritas rakyat," tuturnya.
Bilal menyampaikan, rencana AI masuk kurikulum tersebut merupakan kebijakan elitis. Gibran dianggap hanya berbicara atas nama elite teknologi, bukan pelajar di Indonesia.
Meski begitu, Blok Politik Pelajar memastikan tidak anti terhadap perkembangan teknologi. Kata Bilal, program yang digembor-gemborkan pemerintah adalah sebuah ilusi. AI dalam kurikulum tanpa infrastruktur dan akses yang adil bagi pelajar di seluruh daerah, hanya akan memperdalam jurang ketimpangan sosial.
"Kebijakan ini jelas elitis. Gibran, dengan segala privilege politiknya, tidak berbicara atas nama pelajar. Ia berbicara atas nama elite teknologi yang ingin menjadikan pendidikan sebagai pasar baru. AI dijadikan alat legitimasi untuk mempercepat komersialisasi pendidikan, bukan untuk membebaskan pelajar," tutur dia.
"Kami tidak antiteknologi, tapi kami anti-ilusi. Ilusi bahwa teknologi bisa menambal sistem pendidikan yang bobrok akibat pengabaian negara. AI dalam kurikulum tanpa infrastruktur dan keadilan akses hanya akan memperdalam jurang sosial membentuk dua kelas pelajar: mereka yang terkoneksi dan mereka yang ditinggalkan," lanjut Bilal.
Oleh sebab itu, Bilal menekankan, pendidikan bukan ladang eksperimen untuk memenuhi ambisi kepentingan politik. Blok Politik Pelajar menolak proyek instan yang hanya berupaya memoles hasil kinerja pemerintah tapi mengabaikan suara pelajar.
"Saya tegaskan, pendidikan bukan ladang eksperimen ambisi politisi. Kami menolak proyek-proyek instan yang hanya mempercantik laporan, tapi mengabaikan suara pelajar sebagai subjek utama pendidikan. Berhentilah menjadikan AI sebagai panggung kampanye. Turunlah ke realitas. Dengarkan suara pelajar," ucap dia.
4. Berpotensi gagal dan ciptakan kesenjangan sosial

Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji mengungkap, ada potensi kegagalan dalam rencana pemerintah memasukkan materi tentang AI ke dalam kurikulum pendidikan di Indonesia.
Menurutnya, penerapan program ini tidak bisa dilakukan secara buru-buru dan membutuhkan dasar yang kuat. Meskipun potensi AI dalam pendidikan tidak bisa diabaikan, mendesaknya integrasi AI ke dalam kurikulum sekolah, terutama sedini SD, saat ini kurang memiliki urgensi dan menghadapi tantangan infrastruktur dan kesiapan tenaga pendidik yang sangat besar.
"Terburu-buru mengimplementasikan AI tanpa fondasi yang kuat berisiko menciptakan kesenjangan yang lebih besar dan potensi kegagalan yang signifikan," kata dia kepada IDN Times, Rabu (7/5/2025).
"Mendesakkan implementasi AI ke dalam kurikulum saat kondisi literasi dan numerasi dasar siswa Indonesia masih memprihatinkan berpotensi menimbulkan kegagalan yang lebih besar. Fondasi yang lemah dalam literasi dan numerasi akan menghambat siswa dalam memahami konsep AI yang seringkali melibatkan logika, matematika, dan pemikiran abstrak," sambungnya.
Ubaid menuturkan, apabila AI tetap dipaksakan ke dalam kurikulum pendidikan namun dengan infrastruktur yang belum memadai, murid akan mengalami berbagai kesulitan. Di antaranya, kesulitan untuk memahami algoritma dan cara kerja sistem AI yang membutuhkan pemahaman logika dan matematikal.
"Sulit menganalisis data yang dihasilkan oleh sistem AI (membutuhkan kemampuan numerasi dan interpretasi data). Sulit berpikir kritis tentang implikasi etis dan sosial dari penggunaan AI (membutuhkan kemampuan literasi dan pemahaman konteks)," tutur dia.
Oleh sebab itu, Ubaid menyarankan, prioritas utama yang bisa dilakukan pemerintah saat ini, lebih baik fokus menguatkan literasi dan numerasi dasar sebagai fondasi penting bagi pembelajaran di semua bidang, termasuk pemahaman konsep yang lebih kompleks seperti AI di masa depan.
Ia menegaskan, implementasi AI dalam kurikulum perlu dilakukan secara bertahap, terencana dengan matang, dengan mempertimbangkan kesiapan infrastruktur, kompetensi guru, dan yang terpenting, kebutuhan dan kemampuan pemahaman siswa di setiap jenjang pendidikan.
5. Beban pelajaran jadi sorotan

Di sisi lain, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) ikut buka suara soal rencana materi tentang AI masuk ke dalam kurikulum pendidikan di Indonesia.
Komisioner KPAI, Aris Adi Leksono, tak memungkiri bahwa kemampuan AI dan coding perlu diajarkan kepada peserta didik di sekolah di tengah era transformasi digital.
Namun, penerapannya harus dikaji lebih lanjut, apakah materi tentang AI ini masuk pelajaran wajib atau hanya bersifat pilihan seperti ekstrakurikuler. Aris juga menuturkan, perlu dikaji lebih mengenai kapasitas sumber daya manusia (SDM) dan kesiapan infrastruktur, sehingga bisa ditentukan prioritas kebijakan, dengan mengukur kesiapan daya dukung daerah dan satuan pendidikan.
"Implementasinya yang perlu dikaji, apakah masuk dalam kurikulum atau co kurikulum atau ekstrakurikuler atau bersifat pilihan," tutur Aris kepada IDN Times, Rabu (7/5/2025).
"Harus bisa membedakan belajar sistem Program AI dengan memanfaatkan AI untuk tools kerja. Maka penting penguatan literasi digital sebagai pengendali kemajuan teknologi," sambung dia.
Aris menjelaskan, pengkajian itu dilakukan agar jangan sampai penerapannya menambah beban pelajaran. Menurutnya, pemerintah perlu menilik kembali beban struktur kurikulum di sistem pendidikan saat ini. Sehingga diharapkan materi AI masuk kurikulum ini sesuai dengan ekosistem dan kebutuhan pendidikan di Indonesia.
"Hal itu dilakukan untuk melihat beban struktur kurikulum di sistem pendidikan kita. Jangan sampai menambah beban pelajaran. Selain itu, perlu didukung dengan penguatan literasi digital yang baik," imbuh dia.