Komnas Perempuan Minta Terapkan UU TPKS di Kasus Difabel di Lombok

Jakarta, IDN Times - Komnas Perempuan meminta aparat penegak hukum menerapkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022, tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) dalam kasus kekerasan seksual yang diduga dilakukan seorang difabel tanpa tangan, Iwas alias Agus, di Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB).
Komnas Perempuan berharap penanganan kasus ini tidak hanya berfokus pada proses hukum terhadap pelaku, tetapi juga memastikan agar para korban menerima hak-haknya secara adil sesuai yang tercantum dalam UU TPKS.
Diketahui, jumlah korban kekerasan seksual yang dilakukan Iwas bertambah menjadi 15 orang, beberapa di antaranya masih anak-anak.
1. Komnas Perempuan terus pantau kasus Iwas

Ketua Sub Komisi Pemantauan Komnas Perempuan, Bahrul Fuad, mengatakan pihaknya akan terus memantau dan mendalami kasus ini berjalan secara adil serta transparan sesuai dengan UU TPKS.
"Komnas Perempuan akan terus memantau dan mendalami kasus ini untuk memastikan proses hukum berjalan adil dan transparan, sesuai dengan UU Nomor 12 Tahun 2022 tantang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS)," ujar Bahrul, Rabu (11/12/2024).
Bahrul juga menyebut pihaknya akan mendorong hak-hak korban dapat terpenuhi sebagaimana mestinya, khususnya hak atas pemulihan fisik dan psikologis korban.
2. Bahrul: Pelaku difabel tidak boleh diberi keringanan hukum

Dalam konferensi pers via daring, Bahrul mengatakan, Iwas adalah penyandang difabel fisik bukan intelektual, sehingga apa yang ia lakukan atas dasar kesadaran penuh.
Dia menegaskan, tindak pidana yang dilakukan difabel tidak boleh diberikan keringanan secara hukum atau dibebaskan, karena dapat menjadi preseden atau membuka peluang tindakan kriminal yang dimanfaatkan orang jahat.
"Kita tidak bisa menjadikan alasan kepada teman-teman difabel yang melakukan tindak pidana, karena ini nanti akan menjadi presiden buruk, misalkan tindakan ini dimaafkan atau dibebaskan, maka penyandang disabilitas akan dimanfaatkan orang-orang jahat untuk tindak-tindak kriminal," tutur Bahrul.
3. Dian Sasmita: Kekerasan seksual pada anak tidak hanya menimbulkan trauma, tapi juga berpengaruh pada perkembangan psikologis anak

Anggota Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) sekaligus Pengampu Klaster Anak Korban Kekerasan Seksual, Dian Sasmita, menyampaikan keprihatinannya terhadap dua anak yang menjadi korban dalam kasus kekerasan seksual ini.
Dian juga menekankan kekerasan seksual terhadap anak tidak hanya menyebabkan trauma, tetapi juga berpotensi memengaruhi perkembangan psikologis anak tersebut dalam jangka panjang.
"KPAI saat ini terus berkoordinasi dengan pihak pendamping kedua anak korban untuk memastikan pemulihan psikologisnya dengan baik. Kami mendorong agar korban mendapatkan layanan psikososial yang memadai dan berkelanjutan untuk membantu mereka pulih dari trauma," ujar dia.
Komnas Perempuan, Komisi Nasional Disabilitas (KND), dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyepakati kasus ini menjadi pengingat akan pentingnya upaya bersama dalam melawan kekerasan seksual, khususnya terhadap perempuan, anak-anak, dan penyandang difabel.
Mereka berharap kasus ini juga dapat diproses seadil-adilnya, tanpa memihak siapa pun, baik korban maupun pelaku penyandang difabel fisik.