LBH Apik Ungkap Deretan Kendala Penanganan Kasus Kekerasan Seksual

Jakarta, IDN Times - Isu kekerasan seksual pada perempuan seperti gunung es. Permasalahan yang ada sebenarnya lebih kompleks dan lebih besar dari yang terlihat di permukaan.
Gunung es kekerasan seksual pada perempuan salah satunya muncul karena stigma di masyarakat terhadap korban kekerasan, sehingga banyak dari mereka yang enggan melapor.
Regulasi dan norma hukum juga belum banyak berpihak pada korban yang mengalami kekerasan seksual terutama perempuan korban kekerasan seksual.
Staf Pelayanan Hukum LBH Apik Jakarta, Tuani Sondang Rejeki Marpaung, mengatakan banyak kendala saat pendampingan kasus kekerasan kepada perempuan. Sebab aparat penegak hukum dinilai belum memiliki perspektif terhadap perempuan korban.
"Kenapa baru sekarang melaporkan, kenapa tidak saat kerjadian, pada saat kejadian kan bukti-buktinya masih ada, visumnya ada, keterangannya masih mudah disampaikan, itu sering sekali jadi perdebatan kita," kata dia dalam webinar Kekerasan Seksual: perspektif klinis dan hukum serta bagaimana penangannya, Selasa (29/6/2021).
1. Proses hukum yang sangat panjang bisa kuras tenaga hingga emosional korban

Tuani menjelaskan aparat justru melakukan victim blaming atau menyalahkan korban, yang berujung korban dibebankan untuk pembuktian. Kemudian, aparat tidak menginformasikan perkembangan kasus lebih lanjut.
Proses hukum yang sangat panjang untuk mencari keadilan sangat menguras tenaga, pikiran, dan emosional, karena tidak semua korban kekerasan mendapat dukungan moril maupun material dari keluarga maupun lingkungannya, sehingga hal tersebut sangat berdampak pada kondisi psikologis korban. Keadilan sesungguhnya adalah ketika hak-hak korban telah terpenuhi.
2. Trauma pada korban di mana masa lalu adalah masa depan

Sementara itu Associate Psychologist Yayasan Pulih Fuye Ongko turut membahas kejadian traumatis yang bisa berdampak sangat signifikan pada korban. Pandangan terhadap masa depan menjadi terikat pada konsep The Past is The Future atau masa lalu adalah masa depan.
Korban atau penyintas kejadian kekerasan seksual, konsep ini menimbulkan gejolak pada berbagai aspek psikologis dan secara langsung berpengaruh pada kemampuannya dalam menjalani kehidupannya.
3. Upaya pemulihan korban kerap kali terpinggirkan

Komisioner Komnas Perempuan 2020-2024 Komisioner Komnas Perempuan 2020-2024 Theresia Iswarini juga berpendapat bahwa upaya pemulihan korban kerap kali terpinggirkan dan mengakibatkan korban harus bergulat dengan dirinya sendiri. Peran pemerintah dan aparat penegak hukum, keluarga serta komunitas menjadi krusial agar korban mendapatkan hak-haknya.
Maka dari itu, sangat mendesak bagi DPR RI utuk segera bisa mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dalam upaya perlindungan dan penanganan serta pemulihan yang lebih komprehensif.
4. Kampanye No! Go! Tell! untuk memutus rantai kekerasan seksual

Maka dari itu, perlunya edukasi untuk mencegah terjadinya kekerasan seksual di tengah masyarakat sebagai bentuk upaya memutus rantai kekerasan, serta memulihkan korban kekerasan seksual masih perlu keberlanjutan.
The Body Shop Indonesia bersama Plan Indonesia, Magdalene, Yayasan Pulih, dan Makassar International Writers Festival membuat kampanye Kampanye No! Go! Tell! (Katakan Tidak, Jauhi, Laporkan) fokus utamanya adalah pencegahan dan pemulihan. Masyarakat diajak bertindak cepat dan bersuara untuk memutus rantai kekerasan seksual.
"Kampanye Stop Sexual Violence fase kedua ini merupakan kelanjutan dari perjuangan bersama yang sudah dimulai pada November 2020-7 April 2021. Kampanye ini merupakan bentuk dukungan terhadap perjuangan akan RUU PKS yang sudah dimulai banyak komunitas, NGO dan aktivis sejak 2012," ujar Public Relations and Community Manager The Body Shop Ratu Ommaya.