AS Telah Cabut 300 Visa Mahasiswa Pro-Palestina yang Ikut Demo

- Menteri Luar Negeri AS mencabut visa lebih dari 300 mahasiswa terlibat demonstrasi pro-Palestina di kampus-kampus AS.
- Rumeysa Ozturk, mahasiswa doktoral asal Turki, ditangkap karena mendesak universitas mengakui penderitaan Palestina.
- Pemerintah AS menggunakan Undang-Undang Imigrasi dan Kewarganegaraan untuk mendeportasi warga asing yang berlawanan dengan kebijakan luar negeri AS.
Jakarta, IDN Times - Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS) Marco Rubio mengonfirmasi pencabutan visa lebih dari 300 orang yang terlibat dalam demonstrasi pro-Palestina di kampus-kampus AS. Pernyataan ini disampaikan Rubio saat berkunjung ke Guyana, Amerika Selatan pada Kamis (27/3/2025).
Rubio bahkan menyebut para pendukung Palestina tersebut sebagai orang-orang gila yang menimbulkan kekacauan. Dia juga menyatakan bahwa pencabutan visa dilakukan setiap hari.
"Mungkin lebih dari 300 saat ini. Kami melakukannya setiap hari, setiap kali saya menemukan salah satu dari orang gila ini," ujar Rubio, dikutip dari BBC.
1. Mahasiswa asing jadi target penangkapan
Kasus baru yang menyita perhatian adalah penangkapan Rumeysa Ozturk, mahasiswa doktoral asal Turki di Universitas Tufts. Ozturk ditangkap oleh petugas berpakaian biasa dan bermasker yang membawanya ke mobil tidak bertanda di dekat Boston, Massachusetts.
Melansir CNBC, Ozturk sebelumnya menulis artikel opini di koran kampus yang mendesak universitas mengakui penderitaan Palestina dan memutus hubungan dengan perusahaan yang terkait Israel. Departemen Keamanan Dalam Negeri AS kemudian menuduh Ozturk terlibat dalam aktivitas mendukung kelompok teroris.
Pengacara Ozturk, Mahsa Khanbabai, membantah tuduhan tersebut.
"Dari pengamatan kami di berbagai kasus serupa, kami yakin dia ditahan hanya karena menggunakan hak bebasnya untuk menyampaikan pendapat," kata Khanbabai, dilansir BBC.
Alireza Doroudi, mahasiswa doktoral asal Iran di Universitas Alabama, juga ditangkap oleh petugas imigrasi AS. Penangkapan terjadi pada Selasa pagi sekitar pukul 5 dari rumahnya tanpa alasan yang jelas.
2. Dasar hukum yang digunakan pemerintah AS
Pemerintah AS menggunakan Undang-Undang Imigrasi dan Kewarganegaraan untuk mendeportasi warga asing. Undang-undang ini memungkinkan Departemen Luar Negeri mendeportasi warga negara asing yang dianggap berlawanan dengan kebijakan luar negeri dan keamanan nasional AS.
"Kami memberi kalian visa untuk datang dan belajar serta mendapatkan gelar, bukan menjadi aktivis sosial yang merusak kampus universitas kami," jelas Rubio.
Beberapa kelompok sayap kanan telah mengumpulkan daftar nama mahasiswa yang diduga mempromosikan kebencian terhadap AS, Israel, dan orang Yahudi di kampus. Setidaknya satu kelompok mengklaim telah menyerahkan daftar ratusan nama kepada pemerintahan Trump untuk dideportasi.
Pemerintahan Donald Trump sebelumnya juga telah mencabut dana 400 juta dolar AS (sekitar Rp6,6 triliun) untuk Universitas Columbia. Pencabutan ini terkait tuduhan bahwa universitas gagal memerangi antisemitisme di kampusnya.
3. Kritik terhadap kebijakan Trump

Senator Elizabeth Warren dari Massachusetts mengecam penangkapan para mahasiswa. Dia menilai hal tersebut merupakan upaya untuk membungkam kebebasan berpendapat.
"Pemerintahan Trump menargetkan mahasiswa dengan status legal dan menangkap mereka dari komunitas tanpa proses hukum. Ini adalah serangan terhadap Konstitusi dan kebebasan dasar kita. Kami akan melawan," tulis Warren dalam pernyataannya.
Ranjani Srinavasan, mahasiswa doktoral Columbia University dari India, terpaksa meninggalkan AS ke Kanada secara sukarela setelah visa pelajarnya dicabut. Dia mendapat berita pencabutan visanya dari konsulat AS di Chennai, India pada 5 Maret 2025.
Kathleen Bush-Joseph, analis kebijakan di Lembaga Kebijakan Migrasi, mengatakan pemerintahan Trump kini berubah haluan. Sebelumnya mereka menyatakan akan fokus mendeportasi penjahat dan tersangka teroris, tetapi kini malah mengincar mahasiswa.