Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Ini 6 Fakta Tragedi Mei 1998 yang Perlu Gen Z Ketahui

Beberapa kendaraan lapis baja berpatroli di sekitar Jl. Sabang, Jakarta, Kamis (14/5/1998), setelah terjadinya kerusuhan yang disertai penjarahan di tempat tersebut. Aksi kerusuhan yang melanda kota Jakarta itu membuat terhentinya aktivitas masyarakat. (ANTARA FOTO/SAPTONO)
Intinya sih...
  • Kerusuhan Mei 1998 dipicu kenaikan harga kebutuhan pokok, memicu aksi protes ribuan mahasiswa yang berujung pada penembakan empat mahasiswa Trisakti.
  • Pelantikan Soeharto sebagai Presiden RI memicu aksi demonstrasi dan pengunduran dirinya secara tidak terhormat setelah banyaknya kericuhan.
  • Tragedi Mei 1998 juga menimbulkan kerusuhan terhadap etnis Tionghoa, menyebabkan penjarahan, penganiayaan, dan nyawa melayang.

Jakarta, IDN Times - Kerusuhan Mei 1998 menjadi sejarah kelam dalam rangkaian peristiwa bersejarah di Indonesia. Para demonstran memenuhi jalanan demi mendapat perhatian para wakil rakyat di Senayan.

Kerusuhan kala itu tak lepas dari kepentingan politik juga kalangan tertentu hingga akhirnya kebencian, kecurigaan, dan ketegangan menguasai jiwa para demonstran. Hanyalah keberanian yang menjadi harga mati untuk hidup dalam keadilan. Pergerakan kerusuhan yang menyebabkan kekacauan itu sudah tak mampu menciptakan pertahanan ketenangan bagi para demonstran.

Bagi kamu yang belum mengetahui bahwa Indonesia pernah berada di titik kelam pemerintahan, hingga menciptakan kerusuhan dan penyerangan terhadap etnis tertentu, yuk simak fakta tragedi Mei 1998 berikut ini.

1.Ribuan mahasiswa melakukan aksi protes pada 12 Mei 1998 soal kenaikan harga kebutuhan pokok

Potret Kerusuhan 98 (wikipedia.org)

Kenaikan harga sejumlah kebutuhan pokok mencekik rakyat golongan bawah. Kenaikan ini dipicu terjadinya krisis ekonomi di negara-negara Asia yang juga berdampak pada perekonomian Indonesia. Berbagai aksi protes di daerah mulai terjadi, hingga puncaknya ribuan mahasiswa yang didominasi mahasiswa Universitas Trisakti turun ke jalan pada 12 Mei 1998.

Aksi mereka dihalangi aparat  keamanan hingga terjadi bentrokan. Diduga aparat itu menyerang dengan tembakan peluru yang merenggut nyawa empat mahasiswa Trisakti. Lewat Keppres 057/PK/2005 tertanggal 15 Agustus 2005, keempat mahasiswa tersebut ditetapkan sebagai pahlawan reformasi oleh Presiden ke-6 RI, Susilo Bambang Yudhoyono. Mereka adalah Elang Mulia Lesmana, Hafidin Royan, Hendriawan Sie, dan Heri Hertanto.

2.Empat mahasiswa Trisakti tewas, penembak masih menjadi misteri

Repro. Buku "98-99: Catatan Kemahasiswaan Seorang Pembantu Rektor" (Amran Razak, 2018)

Saat itu belum ditemukan dan diketahui siapa orang di balik penembakan empat mahasiswa Trisakti tersebut. Setelah peristiwa berlangsung, muncul bantahan terhadap dugaan aparat keamanan yang melakukan penembakan.

Mereka menyangkal, karena aparat tidak disenjatai senapan berpeluru asli, hanya tongkat pemukul, peluru kosong, peluru karet, senapan air, dan tembakan gas air mata. Meski beberapa tahun kemudian akhirnya terdapat enam orang oknum aparat yang menjadi terdakwa, tetapi tidak terungkap siapa dan apa motif penembak. Mereka hanya dijatuhi tuduhan karena dengan sengaja tidak menaati perintah atasan.

3.Pelantikan kembali Soeharto sebagai Presiden RI secara aklamasi memicu ketegangan

Ilustrasi Soeharto (IDN Times/Mardya Shakti)

Pelantikan Soeharto menjadi Presiden RI setelah 30 tahun menjabat sebagai presiden, dan dilakukan secara aklamasi oleh DPR membuat panas mahasiswa dan aktivis di seluruh Indonesia. Serangkaian aksi demonstrasi seluruh aktivis dan mahasiswa yang dilakukan di luar kampus menuntut pemerintahan Soeharto.

Setelah banyaknya kericuhan terkait tuntutan itu, Soeharto memutuskan untuk mengundurkan diri dari jabatan presiden secara tidak terhormat pada 20 Mei 1998. Bagi sebagian besar masyarakat Indonesia saat itu, kekuasaan Soeharto dikenal mutlak dan jauh dari kata demokratis. Kebebasan berpendapat dibungkam, dan banyak pelanggaran HAM yang terlihat ditutup-tutupi. Hal ini membuat para aktivis semakin geram.

4.Aksi penganiayaan terhadap etnis Tionghoa pada 13 Mei 1998

Aksesoris lampion di Masjid Lautze. (IDN Times/Siti Nurhaliza)

Selain demonstrasi yang merenggut empat mahasiswa Trisakti, luka mendalam juga dirasakan bagi etnis Tionghoa terhadap tragedi Mei 1998. Kericuhan semakin parah dengan aksi penjarahan dan penganiayaan terhadap masyarakat keturunan Tionghoa.

Toko dan tempat usaha milik mereka habis diserbu dan dihancurkan, bahkan ada yang ikut terbakar bersama toko. Para wanita diperkosa ramai-ramai dan dibiarkan di jalan, dianiaya, hingga ribuan nyawa melayang.

Keturunan Tionghoa menjadi sasaran yang pas karena jumlahnya yang minoritas. Ditambah ajaran peninggalan Belanda saat masa penjajahan, tentang kaum pribumi dan non-pribumi. Banyak dari mereka saat itu memutuskan berganti nama menjadi seperti kaum pribumi.

5.Tanda duka dan kekecewaan pada pemerintah lewat 'Aksi Kamisan'

IDN Times/Lia Hutasoit

Para keluarga korban pelanggaran HAM di Indonesia, mencetuskan ‘Aksi Kamisan’ pada 18 Januari 2007. Mereka termasuk keluarga para korban tragedi Mei 1998 yang tewas di Trisakti, Semanggi, dan kawasan lainnya.

Mereka berdiri di depan Istana Negara setiap Kamis sore dengan memakai pakaian dan payung serba hitam. Ini sebagai tanda duka atas kepergian korban dan kekecewaan pada pemerintah.

Terdapat alasan dengan dipilihnya hari Kamis sekitar pukul 04.00-05.00 sore. Paguyuban para keluarga korban, Jaringan Relawan Kemanusiaan (JRK), dan komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) yang menggagas aksi ini. Saat itu, Kamis disepakati untuk turun ke jalan setelah mempertimbangkan kepentingan anggota.

Dipilihnya pukul tersebut lantaran sebagai waktu pelaksanaan agar bertepatan dengan jam pulang kerja. Sehingga kondisi jalanan lebih ramai dan bisa menarik perhatian para pengendara yang melintas. Hal ini sebenarnya karena mereka masih berharap pemerintah mau mengusut lebih dalam setiap kasus pelanggaran HAM yang diterjadi di Indonesia.

6.Hilangnya sejumlah orang masih menjadi misteri

WIJI THUKUL SANG SASTRAWAN. Film 'Istirahatlah Kata-Kata' menampilkan sisi humanis dari seorang Wiji Thukul: rasa takut, cemas, dan rindu keluarga. Foto dari @FilmWijiThukul

Awal 2017 lalu, rilisnya sebuah film berjudul ‘Istirahatlah Kata-kata’ yang mengundang sambutan positif. Film ini mengisahkan sosok Wiji Thukul, aktivis, dan sastrawan yang hilang setelah tragedi Mei 1998.

Wiji Thukul aktif menyuarakan protes terhadap pemerintahan masa Orde Baru. Ia juga berpartisipasi dalam banyak aksi demo yang digelar para buruh. Suara lantangnya harus membuat dirinya berpindah tempat untuk menghindari pengejaran.

Hingga kini sosok Wiji Thukul dan sejumlah aktivis HAM lain belum diketahui rimbanya. Semua menyisakan tanda tanya besar tentang kepentingan yang disembunyikan di balik deretan pelanggaran HAM di negeri ini.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Rendra Saputra
Satria Permana
3+
Rendra Saputra
EditorRendra Saputra
Follow Us