Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

LBH Jakarta: Sudah Ada 426 Laporan Korban Pertamax Campuran

Tim dari LBH Jakarta dan CELIOS yang akan mengawal pengaduan dari publik yang jadi korban Pertamax Oplosan. (IDN Times/Santi Dewi)
Intinya sih...
  • LBH Jakarta membuka posko pengaduan luring terkait dugaan pencampuran BBM Pertamax RON 92.
  • Sudah ada 426 laporan dari masyarakat, baik daring maupun offline, terkait kerugian akibat praktik korupsi PT Pertamina Patra Niaga.

Jakarta, IDN Times -LBH Jakarta resmi mengumumkan pembukaan posko pengaduan secara luring bagi masyarakat yang merasa dirugikan atas dugaan praktik pencampuran Pertamax jenis RON 92.

Dugaan praktik ini disampaikan Kejaksaan Agung (Kejagung) dalam kasus dugaan mega korupsi tata kelola minyak mentah pada 25 Februari 2025.

Salah satu modus para tersangka adalah melakukan blending atau mengcampur BBM jenis Pertamax dengan Pertalite. Praktik itu diduga terjadi pada rentang 2018 hingga 2023.

Tidak tanggung-tanggung, pihak yang diduga terlibat mega korupsi hingga ke Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, Riva Siahaan yang kini sudah ditahan.

Direktur LBH Jakarta, Fadhil Alfathan, mengatakan, sejauh ini sudah ada 426 laporan dari masyarakat sejak pekan lalu yang disampaikan secara daring. Kemudian, LBH Jakarta juga membuka mekanisme luring bagi masyarakat yang kesulitan membuat laporan secara daring. 

"Pos pengaduan secara online kami buka sejak 26 Februari 2025 lalu sebagai bentuk respons cepat. Karena kami lihat di media sosial dan ruang publik banyak masyarakat yang merasa bingung dan tidak tahu harus mengadu ke mana," ujar Fadhil ketika memberikan keterangan pers, Jumat (28/2/2025) di Kantor LBH Jakarta, Menteng. 

"Posko pengaduan kami buka secara offline agar masyarakat yang tidak memungkinkan mengakses teknologi bisa ikut terakomodasi," kata dia. 

Menurut Fadhil, masyarakat sangat dirugikan dari praktik dugaan korupsi yang terjadi di PT Pertamina Patra Niaga itu. Sedangkan, respons dari Kejaksaan Agung dan PT Pertamina Patra Niaga tidak ada yang memihak ke publik. 

"Di satu sisi, Kejaksaan Agung kukuh dengan hasil penyidikan yang berbasis pencarian fakta, bukti yang jadi bagian dari proses penyidikan. Tapi, lain pihak ada juga sanggahan-sanggahan yang ala kadarnya," ujar dia.

Bahkan, sanggahan yang disampaikan oleh PT Pertamina Patra Niaga dilakukan tanpa ada proses pemeriksaan dan pengujian yang valid. 

1. Sudah ada 426 laporan yang diterima secara daring

Posko pengaduan bagi masyarakat yang jadi korban praktik pengoplosan Pertamax oleh PT Pertamina Patra Niaga. (IDN Times/Santi Dewi)

Sejak pos pengaduan dibuka pada 26 Februari 2025 melalui daring, LBH Jakarta sudah menerima 426 aduan. Masyarakat bisa ikut membuat aduan dengan mengakses situs resmi LBH Jakarta. 

"Di dalam formulir pengaduan yang kami sebar, kami menanyakan beberapa hal, di antaranya, berapa kali frekuensi penggunaan BBM jenis RON 92 (Pertamax). Kemudian, sejak kapan menggunakan. Kerugian apa yang kira-kira dialami," ujar Fadhil. 

Di formulir tersebut, warga juga ditanyakan oleh LBH Jakarta jika ada kerugian yang ditimbulkan karena diharuskan membayar lebih mahal untuk produk dengan kualitas lebih rendah, maka berapa nominal kerugiannya.

"Kami juga menanyakan bagaimana mekanisme pengawasan atau partisipasi publik yang ideal agar peristiwa-peristiwa serupa ke depan tidak terjadi lagi," tutur dia. 

LBH Jakarta juga meminta kepada warga untuk melampirkan dokumen tertulis atau foto yang dapat digunakan sebagai bukti dari laporan tersebut. Fadhil mengatakan, sejauh ini LBH Jakarta belum menentukan hingga kapan posko pengaduan dibuka. 

"Kami belum memutuskan secara rigid kapan (pelaporan) ini berakhir. Meski patokan kami satu minggu. Tapi, karena dinamika ini bergulir sangat cepat, proses advokasi juga tak boleh kehilangan momentum," tutur dia. 

2. LBH Jakarta mempertimbangkan dua upaya hukum ke pengadilan

PT Pertamina (Persero) menegaskan tidak ada pengoplosan Bahan Bakar Minyak (BBM) Pertamax (dok. Pertamina)

Fadhil mengatakan, setelah semua laporan masuk dan didata, maka LBH Jakarta dan CELIOS (Centre of Economic and Law Studies) mempertimbangkan sejumlah upaya hukum terhadap PT Pertamina. Namun, upaya hukum itu diajukan dengan berpegang pada keterangan dari Kejaksaan Agung.

Ia mengatakan, bila ditemukan masalah di tata kelola atau kebijakan distribusi BBM, maka LBH Jakarta dan CELIOS bisa mengajukan gugatan warga negara atau citizen lawsuit

"Kami pernah ajukan gugatan itu beberapa kali. Terbaru, gugatan polusi udara Jakarta atau gugatan terkait praktik eksploitatif pinjaman online yang dimenangkan hingga di tahap Mahkamah Agung," kata Fadhil. 

"Tetapi, upaya itu ditempuh, setelah hasil analisis kami problem-nya ada di tata kelola atau kebijakan," lanjut dia. 

Upaya hukum kedua, bila ditemukan bukti celahnya ada di implementasi kebijakan yang berdampak masif kepada masyarakat, maka bisa diajukan gugatan perwakilan kelompok atau class action

Fadhil menjelaskan, dalam kasus ini, tidak harus LBH Jakarta yang mengajukan gugatan perwakilan kelompok. Di dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen, negara atau pemerintah dimungkinkan untuk mengajukan class action terhadap PT Pertamina. 

"Tapi, kami sangsi pemerintah akan menganggap ini serius dan mengajukan gugatan," kata dia. 

3. Klarifikasi yang disampaikan PT Pertamina hanya untuk meredam kemarahan publik

Kantor Pertamina (dok. Pertamina)

LBH Jakarta juga menyentil klarifikasi yang disampaikan oleh jajaran direksi PT Pertamina Patra Niaga ketika mengikuti rapat kerja dengan Komisi VII DPR pada 26 Februari 2025 lalu. Sebab, Plt harian Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, Mars Ega Legowo Putra membantah adanya pencampuran Pertalite dengan Pertamax. 

Mars malah mengakui adanya proses penambahan zat aditif pada BBM jenis Pertamax sebelum didistribusikan ke SPBU.

"Di Patra Niaga, kami terima di terminal itu sudah dalam bentuk RON 90 dan RON 92, tidak ada proses perubahan RON. Tetapi yang ada untuk Pertamax, kita tambahan aditif. Jadi di situ ada proses penambahan aditif dan proses penambahan warna," ujar Mars di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat. 

Sedangkan, dalam pandangan LBH Jakarta, pernyataan yang disampaikan oleh jajaran Pertamina hanya sekedar untuk meredam kemarahan publik. Belum dilakukan audit menyeluruh setelah pengungkapan dugaan praktik pengoplosan oleh Kejaksaan Agung. 

"Bagi kami kepentingan publik harus menjadi kepentingan yang paling utama. Karena perdebatan yang ada hanya soal teknis apakah blending itu boleh atau enggak. Pengoplosan disebut konotasi yang negatif, yang mana bagi kami itu cuma cara untuk meredakan kemarahan atau perasaan publik," kata Fadhil. 

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Santi Dewi
Deti Mega Purnamasari
Santi Dewi
EditorSanti Dewi
Follow Us