Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Menjadi Waria di Aceh: Dibina Agar jadi 'Laki-laki'

SALON WARIA. Lokasi salon waria usai penggerebekan oleh polisi di Aceh Utara, Sabtu, 27 Januari 2018. Foto oleh Habil Razali/Rappler

Oleh Habil Razali dan Yetta Tondang

LHOKSUKON, Indonesia — Sebanyak 12 orang waria diamankan dari lima salon kecantikan di Kabupaten Aceh Utara, Aceh, dalam sebuah razia Polisi Resort Aceh Utara dan Satuan Polisi Pamong Praja dan Wilayatul Hisbah (Satpol PP-WH) pada Sabtu, 27 Januari 2018, sekitar pukul 23:00 WIB.

Usai diamankan, mereka dibawa ke Markas Polisi Resort Aceh Utara untuk dibina, sebelum akhirnya dipulangkan.

Lokasi lima unit salon kecantikan tempat waria tersebut bekerja, tiga di antaranya berada di Kecamatan Lhoksukon, dan dua lainnya di wilayah Kecamatan Tanah Jambo Aye. Kedua kecamatan itu berada di wilayah Kabupaten Aceh Utara.

Razia yang dipimpin Kapolres Aceh Utara Ajun Komisaris Besar Polisi Ahmad Untung Surianata itu, awalnya merazia salon di Lhoksukon. Dari tiga salon yang ada di daerah tersebut petugas mendapati enam waria.

Keenam waria itu kemudian dibawa mengunakan truk menuju lokasi razia ke dua di wilayah Pantonlabu, Kecamatan Tanah Jambo Aye.

Di Kecamatan Tanah Jambo Aye, petugas mendapati enam waria lainnya yang berada di dua salon kecantikan. Jumlah mereka kini menjadi 12 orang. Setelah disatukan ke sebuah truk reo, mereka dibawa ke Mapolres Aceh Utara.

Lima unit salon yang ada di Kabupaten Aceh Utara tersebut, malam itu juga dihentikan aktivitasnya dan diberi garis polisi.

Barang bukti yang ditemukan di antaranya, adalah video porno sesama jenis dan juga video porno antara manusia dan binatang, dari ponsel seorang waria.

Operasi mencegah populasi Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT) yang dinilai akan dapat berdampak buruk terhadap generasi penerus bangsa ini, juga disebut telah mendapat restu dari ulama di Aceh Utara.

Dibina Agar jadi 'Laki-laki'

Kapolres Aceh Utara AKBP Ahmad Untung Surianata saat ditemui Rappler di Mapolres setempat mengatakan razia ke sejumlah salon itu dilakukan hanya untuk sebatas pembinaan kepada para waria.

Dia menyebutkan, razia dilakukan setelah pihaknya mendapatkan informasi dari sejumlah masyarakat terkait perilaku mereka yang dinilai telah melenceng dari qanun syariat Islam. Aceh memiliki keistimewaan dalam menjalankan syariat Islam.

Tanpa menunggu waktu yang panjang, dia langsung meminta izin dari ulama di Aceh Utara untuk melakukan razia guna memberikan pembinaan kepada para waria tersebut dengan baik.

“Siapa lagi yang harus menghentikan semua ini (tingkah mereka seperti wanita), kalau bukan kita semua (memberi pembinaan). Kalau ada pihak yang tidak suka dan itu silakan, karena tujuan kita baik yaitu untuk membina agar menjadi normal,” kata Untung kepada Rappler, Senin 29 Januari.

https://cdn.idntimes.com/content-images/post/20180130/waria-aceh-utara1-fffff3df83b6fb8775a5a85c23cb8a80.jpg

Setelah dibawa ke Mapolres Aceh Utara, kata AKBP Untung lagi, mereka dikumpulkan dalam satu kelompok. Rambut yang gondrong dipangkas dan waria itu juga diberikan pakaian pria. Saat ditangkap, para waria ini mengenakan baju dan berpenampilan layaknya perempuan.

Selama di Markas Polisi, waria tersebut diberikan ceramah agama oleh seorang ustaz yang dihadirkan secara khusus oleh pihak Polres Aceh Utara. Selain itu, mereka juga dibina secara mental dan karakter.

Waria tersebut juga disuruh bersorak sekeras-kerasnya di Markas Polisi sehingga suara keras dan macho mereka keluar, layaknya suara pria normal.

“Sebenarnya adik-adik kita ini bagus, hanya saja selama ini tidak ada yang membina mereka. Dan mereka juga ikhlas atas pembinaan ini, bukan karena takut sama kita atau lainnya, tetapi atas kesadaran masing-masing,” kata Kapolres Untung di Mapolres.

Berperilaku Baik dan Dipulangkan

Kapolres Ahmad Untung Surianata menambahkan, selama berada dalam pembinaan pihaknya para waria tersebut dinilai telah berperilaku baik, sehingga mereka diperbolehkan pulang ke daerah masing-masing.

“Karena berperilaku baik, maka diperbolehkan pulang sejak Senin kemarin. Meski demikian, saya meminta mereka untuk datang lagi ke Polres minimal pekan ini untuk kita ketahui perkembangan setelah diberikan pembinaan,” kata AKBP Untung.

Sebelum pulang, tambah AKBP Untung, pihaknya terlebih dulu melakukan foto-foto bersama di ruangannya, dan dia sempat menanyakan apakah mereka sakit hati atau tidak terhadap pembinaan tersebut.

“Mereka justru berterimakasih, karena pihak kita telah mau membinanya sehingga telah menjadi pria sesungguhnya," sebutnya.

Meski demikian, dari 12 waria yang sempat diamankan tersebut hanya satu orang yang belum diperbolehkan pulang. Waria ini masih diamankan untuk dimintai keterangan seputar temuan video porno sesama jenis dan video porno antara manusia dan binatang yang ditemukan di ponselnya.

Garis Polisi Dibuka

AKBP Ahmad Untung Surianata mengatakan, pihaknya akan segera membuka ke lima unit salon kecantikan yang sebelumnya sempat diberi garis polisi, jika para waria yang telah dibina tersebut tidak tidak lagi berpakaian minor dan memakai lipstik saat bekerja layaknya seorang wanita.

Selama tidak mengenakan pakaian dan berperilaku layaknya wanita yang dinilai bertentangan dengan hukum syariat Islam, maka mereka diperbolehkan untuk membuka usahanya kembali.

https://cdn.idntimes.com/content-images/post/20180130/waria-aceh-utara3-fd8d2d979fdccf7c06be1cbd4d30cdf1.jpg

“Selama mereka telah berubah, misalnya saat bekerja memakai pakaian pria dan di salon juga berperilaku baik untuk apa dilarang. Karena pada dasarnya adik-adik kita ini baik-baik, hanya saja selama ini tidak ada yang membina,” demikian AKBP Ahmad Untung.

Sangat tertutup

Rappler Senin sore berkunjung ke salah satu salon kecantikan yang ada di Kota Lhoksukon, Kecamatan Lhoksukon, Kabupaten Aceh Utara. Salon itu berada persis di pinggir jalan nasional Medan-Banda Aceh. Garis polisi masih melintang di depan salon berbentuk rumah itu.

Senyap. Tidak ada aktivitas di sana. Pintu salon juga tertutup rapat dan hanya tampak bagian kaca depan.

Rappler kemudian mencoba menemui seorang pria bertetangga dengan salon. Dia tidak ingin Rappler menulis namanya. Pengakuannya, dia tidak tahu persis kenapa waria itu dibawa ke Polres. Dia juga menyebut tidak mengetahui persis ada aktivitas apa di dalam salon tersebut.

Menurutnya, para waria ini sangat tertutup dan jarang berkomunikasi dengan warga sekitar, jika tidak ada keperluan. Menurutnya, pengunjung salon memang datang silih berganti baik anak muda dan perempuan, tetapi mereka tidak datang secara bersamaan.

“Kalau anak-anak muda usia remaja memang ada saya lihat beberapa kali masuk ke dalam salon itu, tetapi saya tidak tahu apa yang dilakukan mereka di dalamnya. Bisa saja mereka mau memangkas rambut,” katanya.

Di lain sisi, waria yang ada di salon tersebut juga kerap terlihat dijemput temannya dan bepergian dengan mobil hingga dua dua hari lamanya tidak pulang. Ketika mereka pergi, salon ini ditutup.

“Tetapi kita tidak tahu mereka pergi ke mana. Teman-temannya sering datang ke salon ini dan kadang-kadang mereka pergi hingga dua hari,” tutur sumber tersebut.

Kepala Satpol PP Wilayatul Hisbah (WH) Aceh Utara Fuad Mukhtar saat dihubungi Rappler dari Banda Aceh tidak banyak berkomentar. "Razia kemarin kan dipimpin Pak Kapolres, biar Pak Kapolres saja yang bicara. Kitakan satu pintu (dalam kasus ini)," kata Fuad, Selasa 30 Januari.

Saat ditanya kronologis penangkapan waria tersebut, Fuad mengalihkannya kepada Kapolres Aceh Utara. "Bagaimana yang Pak Kapolres katakan, begitulah kronologisnya," kata dia.

Fuad mangatakan bahwa pihaknya memang rutin melancarkan razia terhadap pelanggar syariat Islam. Waria tersebut, sebelumnya memang telah diberikan peringatan agar segera berubah.

"Sebelum kami tangkap, mereka sudah kami peringatkan. Sering kami peringatkan," tutur Fuad.

Tidak Mudah Jadi Waria

Sementara itu Dosen Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta yang juga aktif sebagai pemerhati LGBT, Dina Listiorini, menyebut kasus diskriminasi yang dialami kaum LGBT selama ini sedikit banyak berangkat dari minimnya informasi masyarakat tentang LGBT.

"Persoalannya, selama ini orang enggak paham tentang LGBT itu apa. Jangan-jangan, enggak punya temen gay, enggak punya teman waria. Enggak pernah duduk bareng, ngobrol, waria itu seperti apa sih?" ujar Dina yang dihubungi Rappler lewat telepon, Senin, 29 Januari 2018.

"Yang namanya manusia itu seharusnya hormat menghormati, berdiri sama tinggi, duduk sama rendah. Sebenarnya semua manusia sama. Tapi kemudian labelling identitas itu yang bikin semuanya jadi rumit."

Menurut Dina, sudah sejak lama media di Indonesia berperan penting menyebarkan stigma negatif tentang kaum waria. Baik dari film hingga televisi. "Sejarah dari wacana tentang banci dan waria dari media yang menampilkan tentang waria, film misalnya, tidak pernah menjadikan waria sebagai tokoh yang terhormat. Mereka selalu jadi olok-olok. Apapun itu, karikatur sampai film. Bahkan komentar hinaan kayak 'Jangan kayak banci, loe' atau 'Kamu itu laki nangis kayak banci aja' atau 'Yang tegas dong, jangan kayak banci'. Itu yang menjadikan teman-teman waria jadi sosok yang seolah tidak berdaya," lanjut Dina.

Seperti apa yang disaksikannya sejak lama, Dina berkomentar bahwa tak mudah menjalani hidup sebagai waria. Jangankan bicara soal pengakuan, hak-hak dasar saja jarang didapatkan mereka dengan mudah. 

"Tidak mudah jadi waria. Karena identitas mereka sebagai waria dan eksrpesi mereka sebagai waria, itu menyulitkan mereka cari kerja. Enggak gampang mereka mendapatkan. Tidak mudah memberikan pekerjaan atau mendapatkan pekerjaan. Sekolah bisa lulus saja sudah bagus. Sudah luar biasa. Mereka bisa menamatkan sekolah dengan status sebagai waria."

Karena itu, Dina mengecam keras tindakan penggerebekan yang dilakukan pihak kepolisian terhadap sekelompok waria di Aceh Utara. "Apakah mereka mengganggu? Apakah salon itu memutar lagu-lagu yang keras sampai tengah malam yang mengganggu penduduk sekitar? Apakah mereka melakukan perbuatan mesum cabul seperti yang dituduhkan? Itu yang harus diklarifikasi. Cuma masalahnya sekarang, yang mau pasang badan bersuara untuk mengadvokasi dan melakukan pembelaan terhadap mereka, itu yang hrus dicari. Bagaimana negara? Posisi negara seperti apa?"

https://cdn.idntimes.com/content-images/post/20180130/lgbt-5bb39091f5ed6772dd74734d79e59666.jpg

Dari penggerebekan ini, Dina cemas akan memberi pengaruh buruk di masa depan. Seolah-olah peristiwa ini seperti dijadikan tanda "peringatan" bagi kaum waria lainnya. "Semacam sign supaya 'Insaf lah kalian, kembalilah ke jalan yang benar. Kalau kalian seperti itu (waria), akan jadi seperti ini'. Semacam sign dan teror untuk kawan-kawan (waria) yang lain," ungkap Dina.

Sementara itu, Ienes, seorang waria yang kami mintai pendapatnya terkait kasus penggerebekan di Aceh Utara tak mau berkomentar banyak. Yang jelas, Ienes mengecam tindakan yang dianggap telah melanggar hak azasi manusia.

"Yang pasti kita mengecam tindakan pelanggaran HAM yg dilakukan oleh salah satu lembaga negara dalam hal ini kepolisian di Aceh Utara, yang seharusnya memberikan perlindungan kepada setiap warga negara. Ini malah mempersempit ruang gerak teman-teman waria yang notabene sebagai bagian dari warga negara Indonesia," ujar Ienes lewat pesan singkat.

—Rappler.com

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Yetta Tondang
EditorYetta Tondang
Follow Us