CIA: China Siap-siap Invasi Taiwan pada 2027

Jakarta, IDN Times – Pusat Intelijen Amerika Serikat (CIA) menunjukkan bahwa Presiden China Xi Jinping telah menginstruksikan militer negaranya untuk bersiap menyerang Taiwan pada 2027.
Namun, China disebut ragu melakukannya karena pengalaman Rusia dalam perangnya dengan Ukraina, kata Direktur CIA William Burns.
Dalam sebuah wawancara televisi yang ditayangkan pada Minggu (26/2/2023), Burns menekankan bahwa Amerika Serikat (AS) harus menganggap serius keinginan Xi untuk mengendalikan Taiwan, bahkan jika konflik militer tidak dapat dihindari.
“Kami tahu, seperti yang telah dipublikasikan, bahwa Presiden Xi telah menginstruksikan PLA (Tentara Pembebasan China) bersiap pada 2027 untuk menyerang Taiwan, tetapi itu tidak berarti bahwa dia memutuskan untuk menginvasi pada tahun 2027 atau tahun lainnya juga,” kata Burns kepada acara CBS Face the Nation, dikutip dari Channel News Asia.
“Saya pikir penilaian kami setidaknya adalah bahwa Presiden Xi dan kepemimpinan militernya hari ini ragu apakah mereka dapat melakukan invasi itu,” tambahnya.
1. Warisan kepemimpinan Xi Jinping

Rencana China untuk menginvasi Taiwan diungkapkan Burns pada 2 Februari lalu. Ia saat itu berbicara di Universitas Georgetown dan mengakui bahwa AS melalui intelijennya sudah mengetahui rencana Xi tersebut.
Burns juga mengungkapkan bahwa bukan berarti China telah mentapkan tanggal pasti untuk invasinya. Ia mengatakan, itu adalah pengingat bahwa Xi serius dan fokus pada ambisinya.
"Saya tidak akan meremehkan ambisi Presiden Xi sehubungan dengan Taiwan," kata Burns dalam laporan NHK World, Jumat (3/2/2022).
Tidak jauh berbeda dengan yang diungkapkan Menteri Luar Negeri Taiwan, Joseph Wu, sejak Januari lalu. Ia mengatakan kemungkinan besar langkah itu akan terjadi.
Wu mengungkapkan bahwa invasi ke Taiwan akan diklaim menjadi warisan kepemimpinan bagi Xi dalam beberapa kali masa jabatannya.
“Pada 2027, Jinping kemungkinan akan memasuki masa jabatan keempatnya, dan jika dalam tiga masa jabatan sebelumnya ia tidak dapat mengklaim prestasi apa pun selama masa jabatannya, ia mungkin perlu memikirkan hal lain untuk diklaim sebagai prestasi atau warisannya,” ungkap Wu kepada Sky News.
2. AS akan berada di belakang Taiwan

Taiwan dan China berpisah pada 1949 setelah perang saudara yang berakhir dengan Partai Komunis menguasai daratan. Pulau dengan pemerintahan sendiri bertindak seperti negara berdaulat, namun tidak diakui oleh PBB atau negara besar mana pun.
Pada 1979, mantan presiden AS Jimmy Carter secara resmi mengakui pemerintah di Beijing dan memutuskan hubungan dengan Taiwan. Sebagai tanggapan, Kongres meloloskan Undang-Undang Hubungan Taiwan dan menciptakan tolok ukur untuk hubungan yang berkelanjutan.
Taiwan telah menerima banyak sokongan dari AS sebagai upaya mempertahankan diri dari China. Presiden Joe Biden mengatakan bahwa pasukan AS akan membela Taiwan jika China mencoba menyerang.
Gedung Putih mengatakan, kebijakan AS tidak berubah dalam memperjelas bahwa Washington ingin melihat status Taiwan diselesaikan secara damai. Belum diketahui apakah pasukan AS akan dikirim sebagai tanggapan atas serangan China.
3. Serangan bisa meningkat

Burns juga menyatakan dukungan dari AS dan Eropa untuk Ukraina, untuk mencegah China melakukan hal yang sama seperti Rusia. Namun risiko kemungkinan serangan terhadap Taiwan hanya akan meningkat lebih kuat.
“Saya pikir karena mereka telah melihat pengalaman Putin di Ukraina, itu mungkin memperkuat sebagian dari keraguan tersebut,” kata Burns.
"Jadi, yang ingin saya katakan adalah bahwa saya pikir risiko potensi penggunaan kekuatan mungkin tumbuh lebih jauh dalam dekade ini dan seterusnya, ke dekade berikutnya juga. Jadi itu sesuatu yang jelas, yang kami awasi dengan sangat, sangat hati-hati,” pungkasnya.