Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Kehilangan Orangtua, Anak-anak di Gaza Jadi Tulang Punggung Keluarga

ilustrasi anak-anak di Gaza, Palestina (pixabay.com/badwanart0)
Intinya sih...
  • Genosida Israel di Gaza menyebabkan anak-anak Palestina jadi tulang punggung keluarga.
  • Khaled Abu Hasira, 13 tahun, bekerja untuk menafkahi ibu dan adik-adiknya yang kehilangan ayah akibat serangan udara Israel.
  • Rahaf Ghazal, 12 tahun, menjual makanan kaleng di pasar untuk membantu ibunya menghidupi keluarga mereka yang beranggotakan delapan orang.

Jakarta, IDN Times - Genosida Israel di Jalur Gaza telah menyebabkan banyak anak-anak Palestina kehilangan orang tuanya. Akibatnya, mereka terpaksa menjadi tulang punggung keluarga.

Di sebuah kios kecil di Deir al-Balah, Gaza tengah, Khaled Abu Hasira menawarkan minuman panas, seperti teh dan kopi, kepada orang-orang yang lewat. Ia bekerja dari pagi hingga sore hari untuk menafkahi ibu dan keempat adiknya sepeninggal ayahnya akibat serangan udara Israel.

“Saya berharap bisa kembali ke sekolah, bersama teman-teman saya dan berpartisipasi dalam tim pramuka yang saya cintai. Namun segalanya telah berubah sekarang,” ujar Khaled, yang masih berusia 13 tahun, kepada The New Arab.

Ibunya mengungkapkan bahwa pekerjaan Khaled adalah satu-satunya sumber pendapatan mereka. Ia menjelaskan bahwa dirinya telah menjual perhiasan emas dan cincin kawinnya untuk menghidupi anak-anaknya, namun karena uangnya hampir habis, dia tidak punya pilihan lain selain mendorong putra sulungnya tersebut untuk bekerja.

“Khaled telah menjadi jauh lebih tua dari usianya. Saya berharap dia bisa menjalani masa kecilnya, namun perang merenggut segalanya dari kami,” tambah perempuan itu.

1. Perang menguburkan mimpi mereka

Kondisi serupa juga dialami oleh Rahaf Ghazal, seorang anak perempuan berusia 12 tahun. Sejak tentara Israel menangkap ayahnya sekitar 8 bulan lalu, ia menjual makanan kaleng di pasar kamp Nuseirat untuk membantu ibunya menghidupi keluarganya yang beranggotakan delapan orang. 

Sebelum perang meletus, Rahaf menghabiskan waktunya di sekolah dan belajar bahasa Inggris di salah satu pusat pendidikan di Gaza. Ia bercita-cita menjadi jurnalis yang mampu berbahasa Inggris untuk menyampaikan penderitaan rakyatnya kepada dunia.

“Saya menjual makanan kaleng yang tidak kami perlukan, yang kami dapatkan dari Organisasi Pangan Dunia (WFP) secara teratur, dan dengan uang itu saya membeli roti dan keju untuk memberi makan adik-adik saya," jelas Rahaf. 

"Saya dulu hidup dalam damai. Saya pergi ke sekolah di pagi hari, dan di malam hari saya mencurahkan waktu saya untuk belajar bahasa Inggris. Semua itu sudah berlalu sekarang. Kami tidak punya rumah lagi, hancur total, dan saya tidak tahu kapan saya akan kembali ke sekolah saya yang sudah menjadi puing-puing,” ujarnya, mengenang kehidupannya sebelum perang.

2. Anak-anak memikul tanggung jawab di luar kapasitas mereka

Pakar psikologi dan sosial dari Gaza, Iyad Al-Shorbaji, mengatakan bahwa agresi militer Israel selama setahun terakhir telah meninggalkan dampak yang mendalam bagi anak-anak Palestina. 

“Perang menghancurkan ikatan keluarga, karena anak-anak yang kehilangan orang tuanya mulai memikul beban dan tanggung jawab melebihi usia mereka, yang membuat mereka kehilangan rasa aman dan rasa memiliki," kata Al-Shorbaji.

Ia menjelaskan bahwa mempekerjakan anak dapat merampas hak dasar mereka untuk mengenyam pendidikan dan membuat mereka rentan terhadap eksploitasi ekonomi dan fisik di lingkungan kerja yang berbahaya.

“Mengubah anak-anak menjadi pekerja dan bukan pelajar adalah kejahatan sosial dan ekonomi yang mengancam stabilitas seluruh masyarakat, karena mereka dipaksa untuk memikul tanggung jawab di luar kapasitas psikologis dan fisik mereka, yang membuat mereka rentan terhadap krisis kesehatan dan sosial yang kompleks,” tambahnya, seraya mendesak intervensi internasional untuk memberikan bantuan psikologis dan sosial serta membangun kembali gedung sekolah.

3. Anak-anak menjadi kelompok yang paling terdampak oleh perang

Sejak pecahnya perang genosida Israel di Gaza pada 7 Oktober 2023, tentara Israel telah membunuh sedikitnya 44.466 warga Palestina, dengan lebih dari 13 ribu di antaranya adalah anak-anak. Sekitar 17 ribu anak di wilayah tersebut kini hidup tanpa salah satu atau kedua orang tua mereka.

Serangan Israel juga telah menghancurkan lebih dari 80 persen sekolah di Gaza, menyebabkan 630 ribu siswa di sekolah dasar dan menengah kehilangan akses terhadap pendidikan. Sedikitnya 11.738 siswa dan 750 guru tewas selama perang.

"Perang telah memengaruhi seluruh sistem hak anak, terutama hak-hak dasar seperti hak untuk hidup, bertahan, dan tumbuh, serta hak-hak lainnya yang berkaitan dengan kesehatan, pendidikan, air, makanan, obat-obatan, lingkungan yang bersih, dan tempat tinggal," kata Gerakan Internasional untuk Anak dalam sebuah pernyataan.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Fatimah
EditorFatimah
Follow Us