Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Trump Sentil Zelensky: Diktator Tanpa Pemilu

Pertemuan Presiden Ukraina, Volodymyr Zelenskyy, dengan Donald Trump pada 2019. (commons.wikimedia.org/The Presidential Office of Ukraine)
Intinya sih...
  • Trump menyebut Zelensky sebagai diktator dan menyerukan akhirnya perang Rusia-Ukraina.
  • Zelenskyy menuduh Trump menyerah pada disinformasi Rusia dan menyalahkan Kyiv atas konflik.
  • Sejumlah pejabat Partai Republik membela Zelensky dan menyalahkan Rusia atas perang yang berkecamuk.

Jakarta, IDN Times - Hubungan Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, dengan pempin Ukraina, Volodymyr Zelensky, semakin tak kondusif. Keretakan di antara keduanya kian nyata usai Trump menyebut Zelensky sebagai diktator.

Pernyataan Trump tentunya mengubah peta geopolitik terkait konflik Rusia-Ukraina. Menjadi sebuah pertanyaan pula, bagaimana sikap AS ke depannya lantaran Trump tiba-tiba membuka pembicaraan dengan Moskow.

"Seorang 'Diktator tanpa Pemilu', Zelensky harus bergerak cepat atau tidak akan memiliki negara yang tersisa," tulis Trump di platform Truth Social miliknya tentang pemimpin Ukraina yang masa jabatannya berakhir tahun lalu tersebut

1. Hukum Ukraina tak mengharuskan pemilu saat perang

Ilustrasi bendera Ukraina. (unsplash.com/Karollyne Videira Hubert)

Hukum Ukraina tidak mengharuskan pemilihan umum selama masa perang. Trump mengadakan konferensi pers di demi mengkritik Zelenskyy, mengulangi beberapa narasi Kremlin tentang konflik tersebut dan menyerukan diakhirinya perang.

Sementara, Zelenskyy menuduh Trump menyerah pada disinformasi Rusia. Dia juga menyatakan Trump menyalahkan Kyiv karena telah "memulai" perang dan menggemakan pertanyaan Kremlin atas legitimasinya di Ukraina.

"Dia menolak Pemilu, sangat rendah dalam Jajak Pendapat Ukraina, dan satu-satunya hal yang dikuasai adalah mempermainkan (Joe) Biden 'seperti biola’," tulis Trump di Truth Social, dikutip dari Channel News Asia, Kamis (20/2/2025).

Zelenskyy terpilih pada 2019 untuk masa jabatan lima tahun tetapi tetap menjadi pemimpin di bawah darurat militer yang diberlakukan setelah invasi Rusia.

Popularitasnya telah terkikis, tetapi persentase warga Ukraina yang memercayainya tidak pernah turun di bawah 50 persen sejak konflik dimulai, menurut Institut Sosiologi Internasional Kyiv (KIIS).

"Sementara itu, kami berhasil merundingkan akhir Perang dengan Rusia, sesuatu yang semua orang akui hanya dapat dilakukan oleh Trump dan Pemerintahannya," katanya.

2. Sikap Republik dan Trump soal Zelensky berbeda

Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky. (x.com/ZelenskyyUa)

Menariknya, sikap Trump dengan Partai Republik begitu berbeda. Sejumlah pejabat Partai Republik malah membela Zelensky dan menyalahkan Rusia atas perang yang sudah tiga tahun berkecamuk.

"Putin memulai perang ini, melakukan kejahatan perang. Putin adalah diktator yang membunuh lawan-lawannya. Negara-negara Uni Eropa telah memberikan kontribusi lebih besar kepada Ukraina. Zelensky memperoleh lebih dari 50 persen. Ukraina ingin menjadi bagian dari Barat, Putin membenci Barat," tulis Anggota Kongres Don Bacon, dari Nebraska, di X.

Anggota Partai Republik New York, Mike Lawler, mengatakan Putin menuntut pemilihan umum di Ukraina sangat lucu dan mementingkan diri sendiri.

"Vladimir Putin adalah seorang diktator dan penjahat keji, yang telah bekerja sama dengan China dan Iran untuk melemahkan dan mengacaukan Amerika Serikat, Eropa, Israel, dan dunia bebas. Dia bukan teman kita, juga bukan sekutu kita," tulisnya, juga di X.

Sementara itu, sekutu setia Trump, Senator Lindsey Graham, berhati-hati untuk menyalahkan Putin atas perang tersebut. Namun, Graham mengaku masih melihat presiden AS sebagai "harapan terbaik" Ukraina.

3. Teguran Mike Pence ke Trump

Presiden Donald Trump dan Benjamin Black (x.com/@TrumpDailyPosts)

Mantan Wakil Presiden, Mike Pence, juga mengeluarkan teguran publik yang langka. Dia sudah memutuskan hubungan dengan Trump setelah para pendukungnya menyerbu Gedung Capitol AS pada 2021 dalam upaya untuk membatalkan kekalahannya dalam pemilihan umum 2020 dari Biden.

"Tuan Presiden, Ukraina tidak 'memulai' perang ini. Rusia melancarkan invasi yang tidak beralasan dan brutal yang merenggut ratusan ribu nyawa," tulisnya di X.

Sementara itu, Menteri Luar Negeri AS, Marco Rubio, baru saja bertemu Menlu Rusia Sergey Lavrov dalam pertemuan khusus di Riyadh, Arab Saudi. Keduanya membahas tentang negosiasi perang Ukraina.

Namun, Zelensky meradang karena Ukraina tidak diajak dalam perundingan tersebut. Dia meminta bantuan sekutu Eropa untuk melanjutkan perang melawan Rusia.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Satria Permana
EditorSatria Permana
Follow Us