Banyak Internal Parpol Diprediksi Bergejolak Jelang Pilpres 2029

Jakarta, IDN Times - Kepala Departemen Politik dan Perubahan Sosial Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Arya Fernandes, menilai banyak internal partai politik (parpol) bergejolak menjelang Pilpres 2029.
Arya menyebut, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 62/PUU-XXII/2024 yang menghapus syarat ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden (presidential threshold) memunculan riak kompetisi di internal parpol, untuk memperebutkan pucuk kepemimpinan.
"Implikasi yang kedua soal kompetisi internal partai. Setelah putusan MK ini tentu akan memengaruhi juga pada kompetisi dan kontestasi di internal partai," ujar Arya dalam webinar yang digelar Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Senin (6/1/2025).
1. Perebutan kursi ketua umum rawan terjadi bagi parpol yang belum menggelar kongres

Arya menuturkan, perebutan posisi ketua umum akan menguat, terutama terjadi pada parpol yang belum menggelar kongres tingkat nasional.
Namun, kata Arya, tak tertutup kemungkinan perpecahan terjadi pada parpol yang sudah secara resmi menggelar kongres. Perebutan posisi ketua umum bisa terjadi lewat kongres luar biasa.
"Perebutan-perbutan ketua umum juga akan menguat, terutama pada partai-partai yang belum melakukan kongres, munas, atau muktamar," kata dia.
"Bagi partai-partai yang sudah melakukan kongres atau muktamar kalau dia tidak kuat bisa rentan digoyang juga. Bisa saja nanti ada kongres luar biasa, munaslub dan sebagainya," sambung Arya.
2. Semua parpol bisa usung capres-cawapres di Pilpres 2029 tanpa harus koalisi

Dalam sidang pembacaan putusan, Wakil Ketua MK, Saldi Isra, menyampaikan konsekuensi yang akan terjadi dari dihapusnya presidenstial threshold, Pilpres 2029 berpotensi diikuti banyak pasangan calon presiden-wakil presiden. Sebab, semua parpol yang menjadi peserta Pemilu 2029 punya hak yang sama untuk mengusung kandidat.
Dalam pertimbangannya, Saldi menegaskan, berapa pun persentase presidential threshold tidak sesuai dengan UUD Negara Republik Indonesia (NRI) 1945.
“Dalam hal ini, misalnya, jika jumlah partai politik peserta pemilu adalah 30, maka terbuka pula potensi terdapat 30 pasangan calon presiden dan wakil presiden yang diusulkan partai politik peserta pemilu,” kata Saldi dalam sidang yang digelar di Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (2/1/2024).
Kendati, MK tidak melarang, nantinya DPR RI sebagai pembentuk undang-undang untuk membuat aturan agar jumlah pasangan calon presiden dan calon wakil presiden tidak terlalu banyak.
“Sekalipun dalam putusan a quo, Mahkamah telah menegaskan dalam pertimbangan hukum di atas bahwa pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden merupakan hak konstitusional (constitutional right) semua partai politik, yang telah dinyatakan sebagai peserta pemilu pada periode yang bersangkutan atau saat penyelenggaraan pemilu berlangsung, dalam revisi UU 7/2017, pembentuk undang-undang dapat mengatur agar tidak muncul pasangan calon presiden dan wakil presiden dengan jumlah yang terlalu banyak, sehingga berpotensi merusak hakikat dilaksanakannya pemilu presiden dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat,” tutur Saldi.
Dalam putusan ini, MK pun memberikan pedoman untuk melakukan rekayasa konstitusional (constitutional engineering) untuk meminimalkan munculnya jumlah kandidat yang terlalu banyak, yakni dengan memerhatikan hal-hal beberapa hal. Pertama, semua partai politik peserta pemilu berhak mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Kedua, pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu tidak didasarkan pada persentase jumlah kursi di DPR atau perolehan suara sah secara nasional.
Ketiga, dalam mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden, partai politik peserta pemilu dapat bergabung sepanjang gabungan partai politik peserta pemilu tersebut tidak menyebabkan dominasi partai politik atau gabungan partai politik sehingga menyebabkan terbatasnya pasangan calon presiden dan wakil presiden serta terbatasnya pilihan pemilih.
Keempat, partai politik peserta pemilu yang tidak mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden dikenakan sanksi larangan mengikuti pemilu periode berikutnya.
Kelima, perumusan rekayasa konstitusional dimaksud termasuk perubahan UU Pemilu melibatkan partisipasi semua pihak yang memiliki perhatian (concern) terhadap penyelenggaran pemilu termasuk partai politik yang tidak memperoleh kursi di DPR dengan menerapkan prinsip partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation).
3. Pilpres 2029 makin inklusif karena banyak kandidat

Hal senada juga disampaikan pakar kepemiluan dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Titi Anggraini. Ia menjelaskan makna dari putusan MK, di mana semua parpol diberikan hak yang sama.
Oleh sebab itu, Titi meyakini Pilpres 2029 akan jauh lebih inklusif. Ia pun mengimbau kepada parpol untuk berbenah dan menyiapkan kader terbaiknya.
"Jadi ini luar biasa ya, 2029 Pilpres kita akan lebih inklusif, masyarakat akan lebih punya banyak pilihan. Semua partai politik punya hak untuk mencalonkan presiden dan wakil presiden, partai politik peserta pemilu ya," imbuh dia.